RENCANA INDUK KAMPUS UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2017 - 2037

BAB II. LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI

2.1 Konteks Dunia: Kompetisi dan Disrupsi

2.1.1 Globalisasi

Pengaruh globalisasi yang makin luas menyebabkan kolaborasi meningkat secara siginifikan, tetapi di sisi lain persaingan atau kompetisi di segala bidang menjadi makin ketat, bebas, dan liar. Hal itu merupakan dampak dari dunia yang makin terkoneksi dan makin minim sekat. Arus lalu lintas orang, barang, modal, informasi, dan ilmu pengetahuan bergerak sangat mudah dan cepat. Antarnegara saling berebut investasi, teknologi, pasar, dan SDM bertalenta demi keunggulan dan kemajuan negaranya masing-masing. Pada era kompetisi ini, lebih baik dari masa lalu tidaklah cukup. Untuk memenangkan kompetisi, kita harus berdaya saing agar bisa lebih baik dari yang lain. Negara dengan daya saing kuat akan menang dan bertahan, sedangkan yang daya saingnya lemah akan kalah dan terpuruk.

Oleh karena itu, UGM harus berdaya saing. Maksud dari UGM berdaya saing adalah:

  1. UGM yang performa kelembagaannya prima dan memiliki keunggulan komparatif;
  2. UGM yang secara produktif mencetak SDM unggul dan berdaya saing, yang dapat berkompetisi dengan SDM-SDM lain di tingkat regional dan global dalam pasar tenaga kerja dunia; serta 3) UGM yang secara produktif berkontribusi dalam meningkatkan daya saing bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan

2.1.2 Pesatnya Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menyebabkan dunia menjadi makin digital. Komunikasi dan akses informasi menjadi cepat, mudah, dan murah karena sifatnya yang digital. Arus lalu lintas orang, barang, modal, informasi, dan ilmu pengetahuan juga menjadi makin cepat, mudah, dan murah karena terjadi tak hanya secara fisik, tetapi juga secara digital. Proses digitalisasi dunia ini pada akhirnya memperkuat efek dari pendalaman globalisasi, yakni dunia yang makin terkoneksi dan makin minim sekat. Persaingan dunia terjadi tak hanya di dunia nyata, tetapi utamanya justru berkembang di dunia digital. Lemahnya kapasitas digital akan berbanding lurus dengan lemahnya daya saing. Pengembangan kapasitas digital menjadi syarat mutlak untuk bisa secara produktif mengambil keuntungan dari berbagai peluang baru yang tercipta pada era digital ini. Berbagai peluang baru tersebut sebagian besar terkait dengan peryumbuhan data yang begitu pesat. Sumber daya paling mahal di dunia saat ini adalah data. Mereka yang menguasai data akan menguasai dunia. Olah kerena itu, tak heran jika era ini kerap disebut pula sebagai era big data.

Oleh karena itu, UGM harus berkembang sebagai smart digital university. Digital di sini bukan hanya dimaknai sebagai produk teknologi, tetapi juga telah menjadi cara berpikir atau logika kerja. Pewujudan smart digital university dilakukan melalui perubahan cara kerja secara keseluruhan yang lebih cepat, efisien, efektif, fleksibel, dan dinamis, menyesuaikan karakter teknologi tinggi terkini. UGM harus senantiasa update dan upgrade terhadap the emerging technology seperti artificial intelligence, internet of things (IoT), machine learning, blockchain, big data, automation, robots, immersive media, mobile technologies, cloud computing, 3D printing, quantum computing, dsb. Di samping itu, UGM harus serius membangun kedaulatan data, termasuk persoalan keamanan dan kapasitas analisis data besar. Dengan terus menyesuaikan diri terhadap terhadap perkembangan teknologi maka UGM akan senantiasa relevan dan dapat berkontribusi secara lebih optimal.

2.1.3 Disrupsi di Segala Bidang

Disrupsi melanda segala bidang. Disrupsi terjadi karena perpaduan revolusi teknologi, revolusi industri, dan revolusi model bisnis. Revolusi teknologi hadir dengan dua sisi. Di satu sisi, revolusi teknologi memudahkan pekerjaan manusia. Di sisi lain, revolusi teknologi juga berpotensi menyaingi dan mengambil alih peran yang dimainkan manusia. Revolusi teknologi dan revolusi industri tidak bisa dipisahkan. Revolusi industri 1.0 (mulai 1784) terjadi karena dipicu penemuan dan penggunaan mesin uap dalam industri. Revolusi industri 2.0 (mulai pada 1870) dipicu oleh penemuan dan penggunaan mesin produksi masal bertenaga listrik/minyak. Selanjutnya, revolusi industri 3.0 (mulai 1969) terjadi karena penggunaan teknologi informasi dan mesin otomasi, sedangkan revolusi industri 4.0 yang kini masih berkembang dipicu oleh digitization, computing power, dan data analytics melalui cyber-physical, artificial intelligence, internet of things (IoT), big data, dan cloud computing. Revolusi industri 4.0 yang dibarengi dengan revolusi model bisnis akhirnya memicu disrupsi yang melanda segala bidang. Dampaknya, banyak hal yang kuat, mapan, menang, dan bertahan sekian lama, tiba-tiba menjadi usang, tidak relevan, jatuh, bahkan mati digantikan model baru, misalnya pendidikan, pasar, perusahaan, organisasi, pekerjaan dan profesi, ilmu, dan keterampilan. Dengan demikian, disrupsi hadir membawa tantangan-tantangan sekaligus peluang- peluang baru.

Oleh karena itu, UGM harus memiliki karakter pembelajar, fleksibel, dinamis, cair, kreatif, inovatif, cekatan, dan agile agar tidak terdisrupsi dan tetap relevan. UGM harus berpikir ke depan. UGM harus sigap mengantisipasi dan memitigasi masa depan sehingga dapat beradaptasi dengan baik terhadap situasi yang berubah secara cepat. UGM harus terus memperbarui diri. Dengan cara-cara itu UGM dapat bertahan dan memimpin pada era penuh dengan ketidakpastian.

2.2 Konteks Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045

2.2.1 Indonesia Menghadapi Bonus Demografi

Bonus demografi yang terjadi antara tahun 2020—2035 bisa menjadi anugrah atau musibah bagi Indonesia. Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk nonproduktif. Pada puncak bonus demografi tahun 2030 bahkan penduduk usia produktif di Indonesia akan mencapai 66 persen dari total penduduk. Bonus demografi ini akan menjadi anugerah berupa lompatan kemajuan jika sumber daya manusia (SDM) siap berkarya, bekerja, dan berwirausaha. Akan tetapi, ia akan menjadi musibah jika angkatan kerjanya justru menganggur, tidak terserap dunia kerja, tergantung secara ekonomi, dan menjadi beban pembangunan karena ilmu dan keterampilan yang dipelajarinya tidak relevan dengan kebutuhan.

Oleh karena itu, UGM yang memiliki mandat nasional untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa juga harus berkontribusi dalam upaya Indonesia memanfaatkan bonus demografi secara optimal. UGM memiliki peran strategis untuk terlibat aktif dalam pembangunan SDM yang berdaya saing. Caranya adalah dengan menjadikan universitas—salah satunya—sebagai arena percobaan berkarya, bekerja, dan berwirausaha bagi mahasiswa. Dengan cara ini, masa tunggu mahasiswa untuk terserap ke dunia kerja bisa ditekan ke titik nol atau bahkan minus. Mahasiswa sudah bisa mulai berkarya, bekerja, dan berwirausaha bahkan sejak masih menjalani studinya di universitas. UGM harus secara serius memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan, karakter, dan keterampilan mahasiswa yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja terkini. Dalam konteks ini, UGM harus memosisikan diri sebagai arena pengembangan talenta (talent poolling, attracking, grooming). UGM juga harus membangun sinergi multiaktor, termasuk utamanya dengan dunia industri, misalnya dalam rangka mengembangkan teaching industry, pola-pola internship yang produktif, dan aneka kolaborasi lainnya.

2.2.2 Indonesia Ingin Keluar dari Middle Income Trap

Indonesia ingin keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Negara yang dikategorikan berpenghasilan menengah ke bawah adalah negara dengan GNI per kapita antara $1.006 hingga $3.955, sedangkan yang dikategorikan berpenghasilan menengah atas adalah negara dengan GNI per kapita antara $3.956 dan $12.235. Di atas $ 12.235 negara dikategorikan sebagai negara berpenghasilan tinggi. Yang dimaksud dengan middle income trap, yaitu situasi di mana pertumbuhan suatu negara stagnan, melambat, atau malah menurun setelah mencapai tingkat pendapatan menengah sehingga gagal untuk naik ke tingkat penghasilan tinggi. Dari 101 negara berpenghasilan menengah pada 1960, hanya ada sekitar 13 negara yang berhasil naik tingkat ke penghasilan tinggi pada 2008 dan lebih dari 80 negara lainnya masih gagal, termasuk Indonesia. Upaya Indonesia untuk keluar dari middle income trap menemukan momentum bonus demografi. Jika pemanfaatan bonus demografi dapat dioptimalkan untuk menggerakan mesin pertumbuhan ekonomi maka peluang tersebut terbuka lebar. Hingga tahun 2038, Indonesia harus secara konstensi tumbuh di atas 5% untuk mulai menjadi negara berpenghasilan tinggi.

Oleh karena itu, UGM yang memiliki mandat nasional untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa juga harus berkontribusi dalam upaya Indonesia untuk keluar dari middle income trap. UGM harus memberikan kontribusi strategis melalui keterlibatannya dalam merancang strategi nasional. Di sisi lain UGM juga harus terlibat aktif dalam membangun daya saing bangsa, baik melalui pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi, maupun melalui pembangunan SDM yang berkualitas.

2.2.3 Indonesia sebagai Pusat Pendidikan, Teknologi, dan Peradaban Dunia (dalam Visi Indonesia 2045)

Salah satu poin vital dalam visi Indonesia 2045 adalah visi Indonesia untuk menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Visi tersebut adalah visi ambisius yang berpeluang dicapai, apalagi Indonesia akan menikmati bonus demografi antara tahun 2020—2035. Menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia menuntut kualitas pendidikan tinggi yang mumpuni sebagai mesin penting produksi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Oleh karena itu, UGM yang memiliki mandat nasional untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan mandat akademik untuk berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan harus berkontribusi dalam pencapaian visi Indonesia 2045. Mandat UGM sangat sesuai dengan visi Indonesia 2045. Meskipun demikian, UGM menyadari bahwa pencapaian visi Indonesia tidak bisa dilakukan melalui kerja-kerja parsial dan sektoral. Untuk itu, UGM harus turut berupaya membangun kerja-kerja kolektif, sinergis, dan kolaboratif dengan multiaktor, termasuk universitas lain dalam mencapai visi Indonesia.

2.3 Konteks Pedidikan Tinggi: Tuntutan Kompetisi dan Relevansi

2.3.1 Kompetisi Perguruan Tinggi

Kompetisi yang melingkupi perguruan tinggi terjadi secara multilayer, yakni kompetisi antarperguruan tinggi (baik di tingkat nasional, regional, maupun global), antara perguruan tinggi dengan nonperguruan tinggi, serta antara perguruan tinggi dengan pembelajaran mandiri. Kompetisi perguruan tinggi utamanya terjadi dalam rangka memperebutkan talenta-talenta hebat, investasi pengembangan aktivitas akademik khususnya penelitian, serta kompetisi dalam membangun reputasi. Kompetisi perguruan tinggi dengan nonperguruan tinggi terjadi lebih kompleks, misalnya kompetisi dengan dunia industri dalam hal pengembangan teknologi. Contoh yang lain adalah kompetisi atau kontestasi antara perguruan tinggi dengan multiaktor, termasuk media dan publik, dalam membangun klaim kebenaran. Berkembangnya media sosial telah memudahkan arus informasi, termasuk hoaks, yang berdampak pada tergerusnya otoritas akademik, sedangkan kompetisi antarperguruan tinggi dengan pembelajaran mandiri dipicu oleh perkembangan teknologi yang membuat proses pendidikan menjadi lebih sederhana, mudah, murah, personalized, dan efektif. Contoh dari pemblajaran mandiri itu adalah platform pendidikan berbasis daring seperti Massive Open Online Courses (MOOC).

Oleh karena itu, UGM kompetitif. UGM harus sadar situasi dan sadar posisi. UGM harus cerdas memanfaatkan dan menciptakan peluang. UGM harus senantiasa update dan upgrade terhadap situasi terkini agar tetap relevan, dapat bertahan, bahkan menjadi yang terdepan.

2.3.2 Relevansi: National Impact dan World Ranks

Relevansi pendidikan tinggi dihadapkan pada dua kutub orientasi, yaitu memberikan kontribusi nasional dan produktivitas pengembangan ilmu yang diukur melalui instrumen pemeringkatan dunia. Instrumen pemeringkatan dunia yang mainstream seperti Times Higher Education (THE), QS World University, dan Webometrics walaupun terus berupaya melakukan evaluasi universitas secara holistik, masih cenderung memberikan bobot tertinggi pada aktivitas knowledge sharing atau scientific oriented. Akibatnya, universitas-universitas di dunia terbawa arus untuk lebih berlomba-lomba melakukan knowledge sharing daripada mengupayakan kontribusi nasional. Sebenarnya, instrumen baru yang lebih berorientasi problem solving sudah mulai dirumuskan dan dikembangkan, walaupun belum dominan gunakan. Contohnya adalah Alternative University Appraisal yang awalnya dikembangkan di Jepang dan mulai diadaptasi oleh universitas-universitas di wilayah Asia Pasifik. Instrumen tersebut berupaya mengevaluasi kontribusi universitas dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam kerangka kerja AUA, makin tinggi kontribusi universitas terhadap SDGs maka makin tinggi pula kualitasnya. AUA percaya bahwa, “the future of higher education is sosical impact”.

Sesuai dengan mandat nasional dan mandat akademiknya, UGM tidak memosisikan kedua kutub orientasi tersebut secara dikotomis. UGM berupaya mengambil jalan tengah dengan mengupayakan keduanya secara proporsional, seimbang, dan saling menunjang. Caranya adalah alokasi sumber daya dan pembagian peran secara efisien dan efektif.